Wacana Fo
Rekonseptualisasi Pendidikan Mulitikultural
KAMIS, 28 NOVEMBER 2013 11:49:07 • OLEH : REDAKSI • DIBACA : 288
Menggagas
pendidikan pluralis-mulitikultural sangatlah signifikan bagi masyarakat
Indonesia kini. Pendidikan agama pluralis-multikultural adalah model
pendidikan yang diharapkan memberi sumbangsih terhadap penciptaan
perdamaian dan upaya menanggulangi konflik yang akhir-akhir ini marak.
Sebab, nilai dasar pendidikan ini adalah penanaman dan pembumian nilai
toleransi, empati, simpati, dan solidaritas sosial.
Nilai-nilai
pluralisme-multikulturalisme harus kita lanjutkan pada pembebasan
(liberasi) terhadap segala bentuk kezaliman, ketidakadilan, status quo,
dan politisasi rakyat kecil. Mari sedikit mengkaji ulang pendidikan
agama, untuk kemudian memaparkan model pendidikan yang membebaskan
sebagai agenda transformasi sosial.
Model
pendidikan agama yang selama ini dijalankan, faktanya sering
menimbulkan fanatisme keberagaman dan penciptaan ideologi klaim
kebenaran. Mengapa? Karena praktik pendidikan agama kurang menyentuh
aspek realitas sosial, yang sebenarnya merupakan garapan agama. Dua
peran dan fungsi agama itu adalah ritual dan sosial. Maka, model
pendidikan agama gaya lama yang cenderung eksklusif, dogmatis, kembali
ke masa lalu yang kelabu, dan tidak menyentuh aspek moralitas, perlu
didekonstruksi atau dibongkar. Kemudian, dimunculkan model pendidikan
yang menghargai kemanusiaan, membebaskan dari penindasan, memupuk
persaudaraan, dan menekankan kebaikan serta kesejahteraan bersama.
Model
pendidikan yang cocok untuk Indonesia masa depan tentu saja harus
digali dari aspek sosiologis, antropologis, dan teologis masyarakatnya.
Jika kita perhatikan dengan seksama, bangsa Indonesia adalah sebuah
bangsa yang unik; merupakan kumpulan dari berbagai macam suku dan
pemeluk agama yang berlainan satu dengan yang lainnya. Maka,
keanekaragaman (pluralitas) kultural dan religius ini harus dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya guna saling membantu, berlomba berbuat kebajikan,
dan menciptakan kebaikan serta harmoni kehidupan.
Oleh
karenannya, model pendidikan agama di Indonesia yang perlu dikembangkan
ke depan adalah model pluralis-multikultur. Pendidikan agama
pluralis-multikultur adalah model pendidikan yang menekankan pada nilai –
nilai moral seperti kasih sayang, cinta sesama, tolong menolong,
toleransi, menghargai keragaman dan perbedaan pendapat, dan sikap –
sikap lain yang menjunjung kemanusiaan.
Langkah
berikutnya adalah penanaman kesadaran bahwa sudah menjadi tugas manusia
untuk menjunjung kemanusian dan mengembangkan nilai – nilai perenial
agama. Kemudian mereka bersama – bersama melakukan tindakan untuk
mewujudkan aksi kemanusiaan. Namun tahapan ini tidak hanya terhenti
begitu saja, karena setelah terjun ke lapangan, mereka harus
mengevaluasi dan mengkaji teori lagi, untuk kemudian melakukan aksi yang
lebih baik. Maka, lingkaran kejadian refleksi aksi adalah guru murid
realitas, adalah sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan dalam dunia
pendidikan.
Pendidikan
agama pluralis multikultural dan liberatif sangat urgen untuk
diwujudkan, mengingat selama ini di Indonesia masih kurang terwujud
hubungan antar umat beragama yang harmonis dan membebaskan. Oleh karena
itu perlu ditanamkan sikap dan pemikiran yang dewasa dalam menghadapi
perbedaan agama dan perilaku keagamaan. Maka, pluralitas agama justru
harus terus dipupuk sebagai ajang koreksi dan cermin diri dalam bergaul
dengan manusia, untuk selanjutnya melakukan transformasi atau pembebasan
sosial bersama. Tentunya untuk menentang ketidakadilan, status quo,
monopoli, dan segala bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya.
rmat Baru Kementerian Pendidikan, Nuh
Pesan Jangan "Anak Tirikan" Kebudayaan
Jumat, 5 September
2014 | 18:39 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Muhamad Nuh mengatakan, tak masalah jika ada wacana format baru Kementerian
Pendidikan pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ada wacana Kementerian
Pendidikan akan dipisah antara pendidikan dasar dan menengah, dengan pendidikan
tinggi dan riset.Namun, Nuh menekankan, format baru kementerian tak melupakan urusan kebudayaan.
"Tujuan (pemisahan) itu harus disampaikan. Termasuk kebudayaan," ujar Nuh, saat ditemui di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Jumat (5/9/2014).
Menurut Nuh, jika nantinya Kementerian Pendidikan dipecah menjadi dua, harus dipikirkan apakah kebudayaan menjadi domain pada Kementerian Pendidikan Dasar Menengah, atau pada Kementerian Pendidikan Tinggi dan Teknologi.
"Kalau ke Dikti (pendidikan tinggi), apakah kebudayaan itu tidak penting di Dikdas (pendidikan dasar) dan Dikmen (pendidikan menengah)? Hal itu harus dipikirkan," kata Nuh.
Nuh meminta agar pemerintahan yang baru tetap memerhatikan bidang kebudayaan.
"Jangan sampai kebudayaan itu seakan-akan dianak tirikan," ujar Nuh.
Sebelumnya, Wakil presiden terpilih Jusuf Kalla menyatakan, pihaknya tengah melakukan kajian untuk membagi Kementerian Pendidikan menjadi dua. Kajian dilakukan untuk mengakomodasi usulan dari sejumlah ahli pendidikan.
Kalla menjelaskan, rencana membagi Kementerian Pendidikan menjadi dua akan menyasar pendidikan dasar dan pendidikan menengah dalam satu kementerian. Sementara itu, pendidikan tinggi akan digabung dengan riset dan teknologi dalam kementerian lainnya.
"Sedang dalam pertimbangan, Kementerian Pendidikan dibagi dua. Pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dengan riset," kata JK di acara silaturahim dengan pengurus badan kerja sama perguruan tinggi Islam swasta se-Indonesia (BKS PTIS), di Universitas Al Azhar, Jakarta, Rabu (3/9/2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar